jump to navigation

Pengertian dan Ruang Lingkup Kriminologi 13 Mei 2011

Posted by dennyazarine in Uncategorized.
Tags: , , , , , , ,
add a comment

Istilah kriminologi berasal dari bahasa inggris yaitu criminology, yang berasal dari bahasa latin yaitu dari kata crimen yang artinya penjahat dan logos yang artinya pengetahuan. Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kriminologi artinya ilmu tentang kejahatan atau penjahat.
Kriminlogi sebagai ilmu pengetahuan dimulai pada abad ke-19, pada abad-abad sebelumnya telah ada penyelidikan dan berbagai teori yang muncul mengenai kriminologi tetapi belum sistematis dan memenuhi syarat sebagai ilmu pengetahuan karena masih didasakan pada intiusi dan kurang logis.
Ruang lingkup kriminologi yaitu Kriminologi harus dapat menjelaskan faktor-faktor atau aspek-aspek yang terkait dengan kehadiran kejahatan dan menjawab sebab-sebab seseorang melakukan kejahatan. Menurut Sutherland (1960) yang termasuk dalam bidang kriminologi adalah proses-proses dari pembuatan undang-undang, pelanggaran terhadap undang-undang tersebut, dan reaksi-reaksi terhadap pelanggaran undang-undang tersebut. Dengan begitu maka ruang lingkup kriminologi sangat berkaitan erat dengan undang-undang, dalam pembuatan, pelanggaran ataupun reaksinya.

Hubungan interaksi dari ketiga hal diatas merupakan objek studi dari kriminologi, dan merujuk kepada tiga aspek tersebut maka Sutherland (1960) membagi kriminologi dalam tiga bidang ilmu, yaitu :

1. sosiologi hukum yang bertugas mencari penjelasan tentang kondisi-kondisi terjadinya/terbentuknya hukum pidana melalui analisis ilmiah.

2. etiologi kriminal yang betugas mencari penjelasan tentang sebab-sebab terjadinya kejahatan secara analisis ilmiah.

3. penologi artinya ilmu pengetahuan tentang terjadinya atau berkembangnya hukuman, dan manfaatnya yang berhubungan dengan upaya pengendalian kejahatan (control of crime).

Pendapat Sutherland yang membatasi kejahatan hanya dalam perbuatan yang terdapat dalam hukum pidana mendapat kritikan dari Mannheim dan Thorstein Sellin yang menyatakan bahwa kriminologi harus diperluas lagi dengan memasukan norma-norma tingkah laku. Maka objek studi kriminologi menurut Manheim yaitu tidak saja perbuatan yang oleh penguasa dinyatakan dilarang tetapi juga tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap tidak disukai, meskipun perbuatan tersebut tidak atau belum tercantum dalam hukum pidana.

Bemmelen (1958) mengartikan kejahatan sebagai setiap kelakuan yang menimbulkan kegoncangan sedemikian besar dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencela dan mengadakan perlawanan terhadap kelakuan tersebut dengan jalan menjatuhkan dengan sengaja suatu nestapa (penderitaan) terhadap pelaku perbuatan itu (pembalasan).

Pendapat Bemmelen diatas tidak hanya membahas tentang kejahatannya saja tetapi juga penjatuhan hukuman bagi penjahatnya yang pada gilirannya berkembang menjadi ilmu pengetahuan tersendiri yang dinamakan dengan penologi. Penjelasan tentang alasan pembenaran pemberian hukuman didasarkan pada teori tentang penghukuman yang terdiri dari teori besar, yaitu :

1. Retribution, bahwa pelaku kejahatan harus membayar kerugian atas perbuatannya yang telah membuat orang lain menderita. Teori ini memiliki saudara kembar yaitu teori expiation yaitu menekankan pada inisiatif untuk membayar ganti rugi atas perbuatan yang telah dilakukan si pelanggar hukum seolah-olah datang dari si pelaku, tetapi yang menentukan hukuman tetap pihak lain diluar dirinya, yaitu hakim. Perbedaannya adalah teori retribution diartikan bahwa pihak yang dirugikan yang mekasa pelaku untuk membayar, sedangkan expiation diartikan seolah-olah pelaku sendiri yang berinisiatif membayar.

2. Utilitarian Prevention : Deterrence, yaitu pencegahan pelanggaran hukum dengan manfaat melalui penolakan. Mengartikan bahwa seseorang akan mengurungkan niatnya untuk melakukan kejahatan apabila melihat hukuman yang keras. Aspek manfaat dari hukuman yang diharafkan dapat digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu general deterrence yaitu upaya menakut-nakuti orang banyak yang belum pernah melakukan pelanggaran hukum dengan memberikan pengetahuan tentang kerasnya hukuman bagi seorang penjahat, special deterrence yaitu upaya menakut-nakuti pelanggagr hukum yang sedang atau telah dihukum untuk tidak melakukan pelanggaran kembali dengan memberinya hukuman yang keras atau membuat mereka menderita.

3. Special deterrence : Intimidation, mengartikan bahwa hukuman harus bermakna bagi suatu upaya penolakan khusus terhadap pelaku, yakni berwujud sebagai suatu intimidasi. Mengartikan bahwa pelaku pelanggaran hukum yang menerima hukuman akan mengalami penderitaan yang hebat sehingga membuatnya menjadi kapok untuk berbuat jahat kembali.

4. Behavioral prevention : incapacitation, bahwa hukuman yang diberikan kepada pelanggar hukum seyogyanya harus memiliki manfaat untuk mencegah kejahatan melalui medium atau perantaraan perubahan perilaku dari si pelanggar hukum. Tujuan pemberian hukuman adalah agar si pelanggar hukum tidak lagi memiliki kemampuan untuk melakukan kejahatan lagi, konsep berpikir dari teori ini adalah bahwa pelanggar hukum yang dinilai memiliki kemungkinan besar untuk mengulangi perbuatannya akan dibuat tidak berdaya.

Statistik Kriminal 12 Mei 2011

Posted by dennyazarine in Uncategorized.
Tags: , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,
add a comment

Apakah statistik kriminal merupakan cerminan kejahatan atau hanya merupakan gambaran tentang aktivitas penegak hukum?? oke, langsung saja ke TKP.

Tujuan dibuatnya statistik kriminal adalah untuk memberikan gambaran/data tentang kriminalitas yang ada pada masyarakat, seperti jumlahnya, frekuensi serta penyebaran pelaku dan kejahatannya. Berdasarkan data tersebut kemudian oleh pemerintah (khususnya penegak hukum) dipakai untuk menyusun kebijakan penanggulangan kejahatan, sebab dengan data kejahatan tersebut pemerintah dapat mengukur naik turunnya kejahatan pada suatu periode tertentu disuatu daerah. Disamping untuk tujuan praktis, khususunya bagi tujuan pemerintahan, statistik kriminal juga dipakai oleh para ilmuwan, khususnya kriminologi, untuk menjelaskan fenomena kejahatan atau menyusun teori. Terhadap cara-cara penggunaan statistik kriminal oleh pemerintah (polisi) dan kriminologi yang menganggap statistik keiminal sebagai pencerminan kejahatan yang ada pada masyarakat, dalam arti diterima sebagai sampel yang sah, mengandung beberapa kelemahan:

1. Statistik kriminal adalah hasil pencatatan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (khususnya polisi) berdasarkan laporan korban dan anggota masyarakat pada umumnya (berdasarkan berbagai studi sekitar 80-90% pencatatan tersebut berasal dari laporan masyarakat). Ini berarti bahwa hasil pencatatan terutama dipengaruhi oleh kemauan korban untuk melaporkan. Dari berbagai penelilitian dapat ditunjukan bahwa kecenderungan korban untuk melaporkan dipengaruhi oleh berbagai hal seperti jenis-jenis kejahatan, niali kerugian, pandangannya terhadap kemampuan polisi, hubungannya dengan pelaku serta berbagai kepentingan praktis lainnya.

2. Apa yang disebut sebagai kejahatan, dalam perwujudannya akan menampilkan dirinya dalam berbagai bentuk perilaku dan seringkali tidak jelas, samar-samar sehingga memerlukan penafsiran. Menafsirkan suatu kejadian atau fakta tertentu sebagai kejahatan dipengaruhi oleh pengetahuan dan persepsinya tentang apa yang disebut sebagai kejahatan.
Dari berbagai studi dapat ditunjukan bahwa persepsi korban (dan masyarakat) terhadap kejahatan bersifat berat sebelah (bias) yaitu terutama mengenai kajehatan warungan dan sangat langka pada kejahatan white-collar. Akibatnya kejahatan yang dilaporkan juga bersifat sebelah yaitu terutama berupa kejahatan warungan dan sangat langka kejahatan white-collar.

3. Persepsi polisi juga bersifat berat sebelah. Dari jenis-jenis kejahatan yang dijadikan indeks kejahatan, berarti yang akan mendapat prioritas dalam penanggulangannya terutama juga kejahatan warungan. Akhirnya kejahatan yang mendapat perhatian polisi yang pada akhirnya masuk dalam statistik kriminal terutama berupa kejahatan warungan.

Dari beberapa kelemahan yang diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa statistik kriminal bukan merupakan pencerminan dari kejahatan yang ada pada masyarakat akan tetapi hanya merupakan gambaran tentang aktivitas penegak hukum. Jadi, sangat berbeda sekali dengan tujuan dari statistik kriminal itu sendiri yang menganggap statistik kriminal sebagai pencerminan kejahatan dari masyarakat, akan tetapi pada kenyataannya hanya sebuah formalitas dari pemerintah (polisi).